*Di Sekolah Itu, Cinta Kami Menjelma Sayap*
_Oleh Abdul Hadi, tunanetra, ayah dari Muhammad Fidia Riski_
_SD Islam As-Syafiiyah 03, Cilangkap – Setu Cipayung, Jakarta Timur_
_26 Juni, hari kepastian Riski selesai di Kelas 4B_
Di pagi yang tak selalu terang,
dari gang sempit bernama Setu Cipayung,
seorang bocah mengayuh sepedanya seperti melodi harapan yang tak henti berdentang.
Ia tak hanya menuju sekolah,
ia sedang menjemput masa depan,
mengusung doa orang tuanya dalam riak-riak pedal yang terkadang lelah—namun tak pernah patah.
Namanya Riski.
Di kelas, ia bukan gema paling nyaring,
bukan bintang di garis paling depan,
namun ia adalah langit kecil yang tak menyerah untuk bersinar,
meski kadang awan kebingungan menggantung rendah di atas kepala.
Dan di balik setiap langkah kecilnya,
ada dua tangan yang tak terlihat oleh dunia—
*ibunya*, yang adalah mentari dari balik tirai keheningan,
menyiapkan hari-hari dengan peluh dan peluk,
dan *saya, ayahnya*,
yang tak bisa menyaksikan dunia lewat retina,
namun melihat lebih dalam dengan jendela jiwa.
Kami tidak melihat sama seperti kalian,
tapi kami percaya sama kuatnya.
Kami tidak memiliki mata yang bisa membaca papan tulis,
namun kami punya keyakinan yang mampu menembus batas apa pun.
Di sekolah itu,
yang disebut orang sebagai SDI As-Syafiiyah 03,
kami menemukan bukan hanya guru,
tapi cahaya.
Dan engkau, *Bu Asti*,
bukan hanya pemandu kurikulum—
Ibu adalah taman penuh teduh,
yang menyiram semangat anak kami dengan kasih yang tak dibahasakan.
Ketika Riski limbung dalam konsep,
Ibu tidak menunjuk—tapi mendekat.
Ketika ia tertinggal dari barisan,
Ibu tidak mendorong—tapi menunggu, lalu merangkul.
Ibu tidak sekadar mengajar,
Ibu merawat harapannya seperti bunga yang sedang belajar mekar.
Dan hari ini, *26 Juni*,
bukan hanya lembar dalam kalender sekolah.
Ia adalah momen emas yang kami bingkai dengan air mata syukur:
anak kami—Muhammad Fidia Riski—telah menyelesaikan kelas 4B
dengan peluh, doa, dan cinta yang tak terhitung.
Kami tahu:
perjalanan masih panjang,
namun di titik ini,
anak kami sudah belajar satu hal terpenting—
bahwa ia tak berjalan sendiri.
Terima kasih kepada komite, kepada para orang tua kelas 4B,
yang menerima kami bukan sebagai tamu,
tapi sebagai bagian dari kisah.
Kalian adalah hangat yang menyelimuti hati anak kami
dalam diam-diam yang penuh makna.
Saya, Abdul Hadi,
seorang ayah tanpa pandangan,
namun dengan pandangan hidup yang penuh harapan.
Dan bersama istriku yang tangguh dan lembut,
kami ingin dunia tahu:
kami mungkin berbeda cara,
tapi kami sama dalam cinta.
Dari Setu Cipayung, kami tak punya banyak.
Tapi kami punya keberanian,
yang dikayuh Riski setiap hari,
dengan sepeda kecilnya
dan semesta keyakinan yang besar.
Posting Komentar untuk "*Di Sekolah Itu, Cinta Kami Menjelma Sayap*"
Posting Komentar