Sponsored Post
*π°ππΌπ°ππ°π³π°π½π°*
Aku menemukan sebuah mahakarya, tetapi ia rapuh.
Frasa-frasa berserakan tak beraturan;
dialog-dialog terputus di tengah makna yang menggantung;
dan naskahnya… tak pernah selesai.
Barangkali ini tentang kita—atau lebih tepatnya, tentang rasaku padamu yang tak pernah menemukan muara.
Seperempat windu telah berlalu, namun rinduku padamu tak jua menemukan ujungnya.
Namamu masih mengendap di dasar pikiranku,
menyelip di setiap percakapan sunyi,
menjelma sebagai luka yang enggan sembuh.
Aku pikir aku bisa melupakanmu.
Aku pikir waktu akan menjadi sekutu yang membebaskanku.
Namun ternyata, waktu justru memperdalam jejakmu dalam ingatanku.
Aku tetap mencinta.
Aku tak tahu bagaimana bisa aku jatuh sedalam ini
pada sosok yang bahkan belum pernah kutatap matanya,
belum pernah kusentuh jemarinya,
belum pernah kudengar desau napasnya.
Namun rindu ini nyata,
menghuni relung hati dengan keheningan yang menyiksa.
Pernah kucoba berkelana ke lain hati, berharap menemukan pelabuhan yang baru.
Tapi setiap kali aku membuka pintu, yang kutemukan hanyalah kehampaan.
Aku tak bisa mencintai mereka.
Karena di sudut hatiku, namamu masih bertakhta.
Sialnya, aku justru kian mendambakanmu, nyaris menggila.
Aku sadar, bahwa kamu
adalah perwujudan rasa yang tak akan pernah bisa kudekap raganya.
Kamu adalah bayangan yang hadir, tetapi tak pernah bisa kugenggam.
Kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu kusemogakan,
malam demi malam, di bawah langit yang bisu.
Aku tahu,
baik dulu, sekarang, maupun nanti,