Sponsored Post
*Renungan di Balik Uluran Tangan*
Di sebuah sudut waktu yang hening,
aku termenung, bertanya pada hati yang samar,
"Apakah memberi hanyalah kehilangan?"
Jawabnya datang melalui desah angin malam,
"Memberi adalah jalan pulang bagi jiwa yang tersesat."
Aku merenung lebih dalam,
membayangkan tangan yang enggan terbuka,
yang takut kehabisan, takut akan kekurangan.
Padahal, setiap yang dipegang erat-erat,
perlahan berubah menjadi beban yang mencekik,
seperti pasir yang hilang meski digenggam kuat.
Lihatlah, pada dunia yang berputar tanpa henti,
di sana memberi adalah hukum alam,
seperti pohon yang menjatuhkan buahnya tanpa pamrih,
seperti sungai yang mengalir tanpa mengharap kembali.
Namun, apakah aku telah belajar dari semesta?
Ataukah aku masih terjebak di labirin keserakahan,
di mana takut kehilangan mengalahkan hasrat berbagi?
Rasulullah pernah mengingatkan,
di dalam tubuh ada segumpal hati yang menentukan segalanya,
dan aku bertanya pada hati ini,
"Apakah ia cukup bersih untuk merelakan?"
Dalam cermin malam yang gelap,
aku melihat pantulan diriku sendiri,
lelah memeluk kekhawatiran,
padahal cahaya hanya datang ketika tangan terbuka.
Memberi tidak membutuhkan banyak,
tidak membutuhkan emas dalam peti,
hanya perlu keberanian untuk merelakan,
dan keyakinan bahwa yang hilang akan kembali dalam bentuk lain,
sebuah keberkahan yang sulit dijelaskan.
Bahkan ketika aku merasa tak memiliki,
aku tahu, aku masih punya senyuman,
aku masih punya waktu, aku masih punya doa.
Dan bukankah itu cukup untuk berbagi,
cukup untuk menjadi bagian dari harmoni semesta?
Malam semakin larut,
dan aku semakin paham,
bahwa memberi bukanlah kehilangan,
melainkan menemukan diriku sendiri,
di tengah-tengah cinta yang tak terhingga.
— Abdul Hadi,
🌙Diva✨