My first love
Dahulu, mata ini sering menatap wajahmu hingga jenuh menyelimuti.
Namun kini telah berubah. Kau telah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali. Membiarkanku berteman sepi tanpa hadirmu, dan menghantuiku dengan rasa penyesalan yang tak berujung.
~ Nadia ayu kirana.
Katanya, seorang Ayah adalah cinta pertama bagi seorang Anak perempuan. Iya adalah sosok pahlawan untuk Anak perempuannya.
Kasih sayang, perlindungannya, pengorbanannya, hingga membuat Anak perempuannya amat bangga memiliki sosok seorang Ayah sepertinya.
Namun, berbeda dengan nasip Nadia.
Dirinya merasa tak seberuntung yang lainnya.
Sedari kecil, sang Ayah mengalami kebutaan, dan baginya, sang Ayah hanyyalah menambah beban hidupnya dan membuat malu dirinya.
Nadia tengah asyik membaca novel kesayangannya, dengan ditemani minuman dan camilan yang baru saja dibelinya sepulang sekolah.
"Sayang, kamu sudah pulang?" tanya seorang pria paruh baya seraya berjalan dengan tergopoh-gopoh, yang membuat siapa saja tak tega melihatnya.
Namun, tidak dengan Nadia. Dirinya terlihat tak menganggap keberadaan sang Ayah, dengan mata yang selalu tertuju pada buku novel kesayangannya.
"Sayang, itu kamu, kan?" tanyanya sekali lagi, memastikan bahwa itu benar sang Anak.
Tak mendengar sahutan dari sang anak, dirinya pun terus berjalan, hingga tak sengaja menumpahkan minuman Nadia hingga membasahi buku novel kesayangannya, yang terletak di atas meja.
Melihat itu pun, mata Nadia seketika melotot tajam. Dengan amarah memuncak, iya berkata: "puas Ayah? Puas udah bikin buku novel aku rusak?"
Karena kaget, Ayah Nadia pun sontak memundurkan badannya dengan tangan gemetar. Dirinya dapat merasakan dengan jelas bahwa kini sang Anak tengah marah besar kepadanya.
"Maaf, sayang. A-ayah.... Ayah tidak sengaja," ucapnya lirih, bahkan hampir tak terdengar.
"Ayah nggak tahu kan susahnya aku ngumpulin uang buat beli buku ini? Dan dengan gampangnya, Ayah rusak begitu saja!" balas Nadia, amarahnya semakin memuncak.
"Maaf, sayang. Ayah benar-benar tidak sengaja. Ayah janji, akan mengganti buku itu."
"Ayah mau ganti buku ini? Hahaha, jangan mimpi, deh. Buku ini mahal, mana bisa Ayah mendapatkan uang sebanyak itu. Apa lagi, Ayah kan tidak bisa melihat," ucap Nadia meremehkan.
"Ayah pasti akan menggantinya, sayang."
"Hahaha, nggak usah sok meyakinkan gitu deh Yah. Ucapan Ayah itu tak bisa dipercaya, dasar pembawa masalah. Dahulu, Bunda saja meninggal gara-gara Ayah!" ucap Nadia lantang.
Ya, sang Bunda memang telah meninggal dunia. Dan bagi Nadia, sang ayahlah penyebabnya, tanpa suatu alasan yang jelas.
"Sayang, itu bukan salah Ayah, itu sudah takdir yang telah Tuhan tetapkan," kata Ayah Nadia.
"Hahaha, aku tak percaya," balas Nadia.
"Tapi, sayang..."
Belum selesai melanjutkan kata-katanya, Nadia telah melenggang pergi begitu saja dengan menghentak-hentakkan kakinya.
"Kamu mau kemana, sayang?" tanya ayah Nadia yang mulai menyadari bahwa sang Anak melangkah pergi.
"Bukan urusan Anda." jawab Nadia singkat, namun begitu menusuk yang dirasakan bagi yang mendengarnya.
Pada akhirnya, Ayah membiarkan Putrinya pergi dengan harap-harap cemas, takut bahwa akan terjadi hal yang tak diinginkan kepada sang Putri.
Satu jam, dua jam, hingga tiga jam, Nadia belum juga kembali.
"Ya Tuhan, semoga Nadia baik-baik saja," gumamnya memanjatkan doa kepada sang maha kuasa, guna mengurangi kecemasannya saat ini.
"Ah, aku tak bisa tinggal diam seperti ini. Aku harus mencari Nadia, ini sudah semakin sore." gumam Ayah Nadia seusai memanjatkan sebuah doa.
Senja datang menyapa, dengan warnanya yang begitu indah.
Senja itulah, menjadi saksi bisu perjuangan seorang pria paru baya yang sedang berjuang mencari keberadaan putrinya.
Ayah Nadia, tak kenal lelah terus menyusuri jalanan yang akan memasuki waktu petang, dengan menggunakan tongkatnya untuk mendeteksi bahwa di sekitarnya ada jalan berbahaya.
"Nadia, kamu di mana sih, Nak?"
Hingga samar-samar dirinya mendengar tawa Nadia yang begitu nyaring.
"Nadia. Iya, itu suara Nadia," gumam Ayah Nadia.
Dengan langkah pasti, Ayah Nadia berjalan ke arah sumber suara.
Langkahnya semakin dekat dengan sumber suara tersebut, yang seketika membuatnya bernafas lega.
"Nadia sayang, ayo pulang," ajaknya lembut, setelah tepat berada di depan sumber suara.
Nadia terlonjak kaget, saat mengetahui bahwa kini sang Ayah, orang yang dibencinya tengah berada tepat di hadapannya.
"Itu siapa, Nad? Lo kenal sama Bapak-bapak ini?" tanya Nana, salah satu sahabat Nadia.
"Ya nggak lah, yakalik gue kenal sama orang kayak gitu," sarkas Nadia.
Pasalnya, Nadia tak pernah bercerita apa pun kepada mereka, perihal sang Ayah yang tak dapat melihat.
Iya hanya bercerita bahwa sang Ayah tengah merantau ke luar kota.
"Beneran Lo, Nad?"
"Iya, beneran. Sudah, kita pergi saja," ajak Nadia, yang langsung disetujui oleh para sahabatnya.
Mendengar percakapan menyakitkan itu pun seketika kaki Ayah Nadia terasa lemas. Dirinya benar-benar tak menyangka atas sikap Putrinya tersebut.
"Kamu... Kamu tega dengan Ayah Nak?" tanyanya dengan suara parau akibat menahan tangis.
Namun sayang, Nadia sudah tak ada lagi di hadapannya.
"Kamu... Benar-benar pergi, Nak?" tanya Ayah Nadia.
Tak ada sahutan, Ayah Nadia mulai menyadari bahwa Putrinya benar-benar sudah tak berada di sekitarnya.
Dengan langkah gontai, akhirnya Ayah Nadia kembali berjalan meski dirinya tak tahu arah pulang.
Namun karena tak memperhatikan sekitar, sebuah truk besar melaju dengan kecepatan di atas rata-rata hingga menabrak Ayah Nadia, yang terkejut sehingga kehilangan keseimbangan. Tubuh Ayah Nadia tergeletak dengan tertindih truk tersebut.
Pengemudi truk itu gegas kabur tanpa mengamankan truknya, yang terlihat hancur sebagian.
Menyaksikan hal tersebut, para warga pun dengan sigap menyingkirkan pecahan kaca truk tersebut, serta menelepon ambulans, untuk membawa Ayah Nadia ke rumah sakit.
"Ayaaah!" seru Nadia yang memang belum berada jauh dari tempat kejadian.
"Ayah, Lo ngomong apa, sih?" tanya sahabatnya.
Tanpa menjawab pertanyaan dari sahabatnya, Nadia pun berlari menuju tempat kejadian.
"Ini Ayah saya," ucapnya kepada warga yang berkerumun.
Nadia menatap wajah sang Ayah yang berlumuran darah. Dalam hatinya, dirinya merasa bahwa ini adalah kali terakhir dapat menatap wajah sang Ayah.
"Ayah, bangun, maafkan aku," kata Nadia penuh sesal.
"Tenang ya, Dek. Sebentar lagi ambulans akan datang," ucap salah seorang warga.
Namun, tak lama kemudian, jari jemari Ayah terlihat bergerak.
"Ayah," gumam Nadia lembut.
"Maafkan Nadia, Ayah. Hiks... hiks... hiks..."
"Ayah... sudah... memaafkan... kamu."
Setelah mengatakan demikian, Ayah Nadia kembali tak sadarkandiri.
Salah seorang warga memeriksa denyut nadi Ayah.
"Innalillahi wa Innalillahi roji'un, Ayah kamu sudah meninggal dunia," ucap warga tersebut.
Bak disambar petir, Nadia tak bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Air mata semakin deras jatuh membasahi pipinya.
Senja yang awalnya datang dengan segala keindahannya, kini mulai menghilang dengan perlahan, mengiringi kepergian pria paruhbaya tersebut dari dunia yang fana ini.
Singkat cerita, pemakaman telah usai dilaksanakan.
Kini, Nadia tengah termenung di dalam kamarnya. Dirinya membayangkan, betapa kejam sikapnya terhadap sang Ayah.
(Ayah, kembalilah. Tolong berikan kesempatan untukku memperbaiki segalanya,) monoloknya dalam hati.
Tak ingin berlarut terlalu lama, Nadia pun membuka almarinya guna mencari buku komiknya.
Namun, matanya tak sengaja tertuju pada secari kertas berwarna putih yang terletak di dalam sebuah kotak kecil yang terbuka.
Karena penasaran, diraihlah secari kertas tersebut.
(Surat, surat apa ini?) tanyanya dalam hati, lalu membaca surat tersebut.
Untuk Nadia Putriku.
Nak, Bunda tak tahu, kapan kamu akan membaca surat ini.
Tapi Bunda berharap, setelah membaca surat ini, kebencianmu kepada Ayah sirna.
Sayang, Ayahmu telah banyak berkorban untuk kita.
Dulu, saat kamu masih berada dalam kandungan Bunda, Ayah sangat bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kita.
Dan kamu tahu apa pekerjaan Ayah?
Ayahmu menjadi kuli panggul di pasar, dengan berbekal tongkatnya.
Dan, ada satu hal lagi yang harus Nadia tahu.
Sebenarnya, Bunda mengidap penyakit gagal ginjal.
Dan kata dokter, kemungkinan Bunda untuk sembuh sangat kecil.
Jika Bunda telah tiada, Bunda mohon, jangan salahkan siapa pun atas kematian Bunda.
Apa lagi Ayah.
Ayah juga telah sangat bekerja keras mencari biaya, untuk pengobatan Bunda.
Maafkan Bunda, tidak menceritakan semuanya secara langsung kepadamu.
Bahagia selalu ya, sayang.
Salam hangat dari Bunda.
Tes.
Nadia tak kuasa menahan air mata, setelah membaca surat tersebut.
Iya tak menyangka, ternyata Ayah yang selama ini iya benci, telah berkorban banyak hal untuk keluarganya.
Dan kematian sang Bunda, memang bukan kesalahan Ayah.
Namun apa mau dikata, kini sang Ayah telah tiada.
Nasi telah menjadi bubur, menyesalpun tiada gunanya.
Kini, Nadia hanya bisa mendoakan Ayah dan bundanya, yang kembali bersatu di dalam syurga. Meski rasa penyesalan terhadap sang Ayah akan selalu menghantuinya.
"Terima kasih, Ayah, untuk segalanya. Ayah adalah cinta pertamaku yang luarbiasa. Dan terimakasih, Bunda, untuk segalanya. Aku sangat menyayangi kalian."
Posting Komentar untuk "My first love"
Posting Komentar